Powered by Blogger.
Home » » YIM POLITISI CERDAS SELAMATKAN PBB

YIM POLITISI CERDAS SELAMATKAN PBB

Oleh :
Dr. Anang Anas Azhar MA

Tiga hari terakhir, kiblat politik Indonesia bergerak dinamis. Dinamis, karena para politisi kita sedang bermain di panggung politik. Tifatul Sembiring (PKS) memberi signal keras bagi kadernya yang bergabung di Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) segera keluar dari partainya. Garbi yang pendiriannya diinisiasi Anis Matta mantan Presiden PKS memberi tanda tanya besar, ada apa sebenarnya di internal PKS menjelang pemilu 2019.

Belum selesai dengan PKS, politisi Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (YIM) membuat gaduh publik di pentas politik nasional. YIM seakan merontokkan politik dominasi ideologi partai ini yang memegang teguh berdirinya syariat Islam di Indonesia. YIM mencairkan suasana politik kita, dengan menyatakan kesediaannya tampil sebagai pengacara pasangan Jokowi-Makruf Amin.

Sahabat media sosial pun mem-bully YIM, sebagai politisi yang ingkar dan murtad dari alumni 212. Profesor bidang hukum tata negara ini pun dijadikan bulan-bulanan media sosial dengan mengait-ngaitkannya kepada Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Muncullah opini, YIM politisi pengkhianat, suara PBB di Pemilu 2019 nanti bakal anjlok dan lain sebagainya. Cemooh dan hinaan inilah yang mengitari komentar YIM di jagat media sosial Indonesia.

Jujur, saya tidak ingin berkutat dalam konflik media sosial ini. Yang ingin saya katakan, tidak segampang itu YIM menerima tawaran dirinya sebagai pengacara Jokowi-Makruf Amin. Harga diri, martabat partai yang ia sandang menjadi "tergadai" karena ia bergabung dengan Jokowi. Nilai profesionalisme YIM pun sebagai pengacara tidak dipandang lagi oleh masyarakat kita. Sebagian rakyat kita sudah terlanjur "benci" kepada capres nomor 1 itu. Lantas ada apa YIM membalik peta politik itu?

Ada beberapa analisa yang menurut saya tepat untuk diungkap di akun FB saya ini. Pertama, keberanian YIM menerima tawaran itu menurut saya bukan pengkhianat. Politisi itu berjalan seperti pemain drama di panggung dan harus bergain saling menguntungkan. Setidaknya ada bergaining position bagi YIM dari Jokowi. Coba Anda bayangkan, sejak Orde Reformasi ada, Indonesia sudah menjalani empat kali pemilu, dan bakal berjalan untuk kelima kalinya tahun 2019 mendatang. Lantas apa yang didapatkan PBB selama empat kali pemilu itu? Fakta membuktikan,  bahwa PBB sering kalah di kantong suara umat Islam sendiri. Padahal, PBB mengklaim partainya sebagai partai yang memperjuangkan Islam, bahkan satu-satunya parpol yang teguh memperjuangkan berdirinya syariat Islam di Indonesia.

Kedua, perolehan suara PBB dari pemilu 1999 sampai pemilu 2014 tidak terlalu signifikan jumlahnya. Bahkan dalam pemilu 2009 dan pemilu 2014, perolehan suara PBB terus anjlok. Faktor inilah yang menjadikan partai ini tereliminasi dari pentas politik Indonesia. PBB bangkit dan PBB hilang. PBB bangkit karena menang dalam gugatan di pengadilan, lantas siapa yang memperjuangkannya dia adalah YIM, akhirnya PBB boleh ikut dalam pemilu. PBB hilang karena dukungan umat Islam tidak full terhadap partai ini. Suara umat Islam terbelah, karena masih ada lagi partai selain PBB yang mengklaim suaranya dari umat Islam, seperti PPP, PKS, PAN, PKB.
     
Ketiga, Parlemen Treshold (PT) PBB tidak mencukupi untuk eksis di parlemen kita di senayan. Dari empat kali pemilu, PBB baru satu kali berhasil menempatkan kadernya di Senayan yakni sebanyak 13 kursi. Itupun pemilu 1999, beban PT karena tidak terlalu dipersoalkan. Pemilu 1999, PBB memperoleh 2.049.708 suara (1,94%). Pemilu 2004, PBB memperoleh 2.970.487 suara (2,62%). Pemilu 2009, perolehan suara PBB menurun menjadi 1.864.752 suara (1,79%). Sedangkan Pemilu 2014, suara PBB semakin anjlok menjadi 1.825.725 suara (1,46%).  

YIM sebagai Ketua Umum PBB tentu tidak tinggal diam. PBB dikenal sebagai partai yang minim amunisi saat-saat menjelang pemilu seperti ini. PBB hanya mengandalkan popularitas dan pendanaan calegnya. Ini dikarenakan, PBB tidak memiliki legislatif di Senayan, karena terbentur aturan PT. Akhirnya, PBB menjadi partai politik yang sekedar ikut pemilu, tetapi tidak tampil sebagai pemenang. PBB akhirnya juga kehilangan tempat di mata pemilihnya, terutama di kalangan umat Islam. Lantas pertanyaannya, apakah tindakan YIM bergabung ke Jokowi salah? Dalam kacamata politik, saya kira tindakan YIM sudah tepat, demi menyelamatkan PBB pada pemilu 2019 mendatang.

Satu-satunya parpol yang dikesampingkan pemerintah selama ini, baik pemerintahan Gus Dur, Mega, SBY dua periode adalah PBB. PBB kurang mendapat tempat yang sempurna di mata pemerintah. Ini ditandai dengan tidak masuknya kader PBB di DPR RI, meski sebagian kadernya mendapatkan jatah menteri pada masa SBY. Tetapi, sayang tidak berbanding lurus dengan perolehan suara PBB setiap pemilu.

Di akhir tulisan ini, saya ingin katakan berhentilah menghujat YIM di media sosial. Biarlah YIM mengubah strateginya membesarkan PBB pada pemilu 2019 nanti dengan caranya sendiri. Para caleg PBB fokuslah mendatangi konsituen anda, tak perlu anda berpolemik dengan sikap YIM dengan Jokowi. Sekarang Jokowi sedang memegang kendali pemerintahan, maka sangat wajar YIM berpikir demikian, demi membesarkan PBB. Petikan terakhir dari tulisan ini, YIM bukan politisi goblok, cebong atau sebutan lainnya, tapi saya menilai sebaliknya, YIM politisi cerdas yang dapat memanfaat kondisi politik sekarang ini. Karena dengan cara inilah, YIM dapat menyelamatkan PBB dari degradasi PT 4%. Dulu ketika HTI dibubarkan pemerintah, pernah disebut-sebut massanya mencapai 10 juta, dan menyatakan bergabung dengan PBB, tapi hingga saat ini di mana massa itu? Makanya, sikap YIM seperti ini saya kira tidak perlu dipersoalkan. Ayoo.... kader PBB bangkit, bangkitlah mendulang suara, meraih PT 4% pada pemilu 2019 mendatang. Semoga sukses. Amien!!! 
  

0 comments:

Post a Comment