Powered by Blogger.
Home » » Rohingya, ASEAN dan OKI

Rohingya, ASEAN dan OKI


Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA

 
Sepanjang Agustus 2017, Negara Myanmar kembali bergolak. Myanmar menjadi sorotan dunia internasional, karena bertahun-tahun membantai ribuan umat Islam etnis Rohingya oleh militer diktator Myanmar. Umat Islam dibantai, karena status kewarganegaraannya dianggap pemerintah liar. Pemerintah pun memberlakukan etnis Rohingya sangat diskriminatif.

Meski mayoritas penduduknya menganut agama Buddha, tetapi bukan berarti penduduk Rohingya hanya menganut satu agama saja. Myanmar justru sangat demokratis untuk memperbolehkan penduduknya menganut selain agama Buddha. Salah satunya, penduduk muslim yang dianut etnis Rohingya sejak puluhan tahun silam. Di daerah itu, meski etnis Rohingya tidak seluruhnya menganut agama Islam, sebagian besar di antaranya justru juga ikut dibantai tentara militer Myanmar. Sebagian kecil wargnya penganut Buddha juga ikut dibunuh secara sadis oleh pemerintahan militer diktator.

Pembantaian etnis Rohingya ini, seakan tak pernah selesai karena dianggap sebagai pendatang haram, penduduk liar yang seenaknya memasuki wilayah itu. Ketepatan karena penduduknya mayoritas muslim dan penduduk liar, pemerintahan militer diktator harus menghabisi mereka dari negara yang bekas jajaran tentara Inggris itu. Jika kita tarik lintasan sejarah Myanmar, ternyata pelanggaran HAM yang dilakukan militer Myanmar sudah berlangsung lama. Meski pernah melunak, namun belakangan muncul lagi, dan korbannya tetap saja muslim Rohingya yang jumlahnya ribuan orang.

Apa Peran ASEAN
Isu kemanusiaan di Myanmar ternyata bukan saat ini saja muncul. Masalah kemanusiaan sudah terjadi puluhan tahun lalu. Masalah pelanggaran HAM yang menjurus kepada etnis Rohingya telah berulang kali, karena pembantaian kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut terjadi secara nyata, sadis dan mengerikan. Lantas bagaimana peran ASEAN yang sudah berdiri 50 tahun?

ASEAN merupakan tempat berkumpulnya negara-negara sekawasan Asia Tenggara. Sejak berdiri, peran ASEAN sudah banyak dirasakan termasuk  bidang ekonomi dan politik. ASEAN dibutuhkan sebagai tempat berkumpulnya pemimpin negara sekawasan Asia Tenggara membicarakan hal-hal urgen dari negara anggotanya. Tapi nyatanya, mengapa ASEAN kurang berperan menyelesaikan tragedi kemanusiaan yang melanda anggotanya. Pertanyataan selanjutnya, mengapa Myanmar tidak terbuka secara luas atas konflik kemanusiaan yang terjadi di negaranya.

Tidak ada alasan, ASEAN tidak dapat menyelesaikan krisis kemanusiaan yang terjadi di negara anggotanya sendiri. Atau setidaknya, ASEAN ikut bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami etnis Rohingya, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara khusus mensyaratkan stabilitas kawasan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik tetap aman. Toh nyatanya isu keamanan dan HAM tetap saja mengepung kawasan ASEAN seperti yang terjadi di Myanmar. Hemat saya, konflik kemanusian di Rohingya, adalah ujian ASEAN guna menyelesaikan isu HAM yang terjadi di wilayahnya. Oleh karenanya, jangan mencari-cari alasan bagi ASEAN untuk tidak menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya. Jika konflik kemanusiaan tidak diselesaikan, saya yakin tingkat kepercayaan dunia internasional kepada ASEAN berkurang, bahkan bukan tidak mungkin negara-negara luar dari Benua Amerika, Eropah bahkan Arab akan meninggalkan ASEAN. 

Tugas dan peran ASEAN saat ini, tidak hanya pengembangan bidang ekonomi dan politik saja. ASEAN juga harus mengamankan isu HAM agar tidak terjadi konflik kemanusiaan yang berkepanjangan. Elemen kemanusiaan harus mendapat tempat khusus di kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan situasi kondusif dalam hal kebebasan berpolitik dan penegakan HAM, termasuk juga tanggungjawab memberi perlindungan kepada civil society bagi negara-negara anggota ASEAN.

Di bagian lain, bukan saatnya lagi ASEAN secara teori di mimbar publik ikut menciptakan perdamaian di Asia Tenggara. Yang dinantikan etnis Rohingya adalah seberapa jauh peran ASEAN ikut menyelamatkan HAM di etnis Rohingya, agar umat Islam yang ada di Myanmar hidup rukun dan damai. ASEAN tidak harus menutup mata terhadap nasib etnis Rohingya. Konflik kemanusiaan di Myanmar jangan disembunyikan lagi di bawah karpet (sweep sensitive political-security issues under the carpet) pada setiap pertemuan puncak pemimpin negara anggota ASEAN. Hemat saya, pertama, jika ASEAN tidak sanggup membuka hubungan diplomasi politik dengan Myanmar untuk menyelamatkan isu HAM, maka ada baiknya ASEAN dibubarkan saja. Atau kedua, Myanmar dikeluarkan saja dari keanggotaan negara-negara ASEAN.

Dalam menangani isu kemanusiaan etnis Rohingya, sudah sepantasnya ASEAN mengambil tindakan darurat dalam menangani masalah Rohingya. Munculnya sejumlah provokasi kebencian terhadap kaum Rohingya, ternyata tidak hanya dilakukan para biksu radikal semata, tetapi yang lebih parah lagi dilakukan kelompok militer diktator Myanmar, dengan alasan etnis Rohingya yang ada di Myanmar dianggap sebagai pendatang liar yang tidak memiliki status kependudukan yang sah.

Sekedar mengingatkan kita semua, sepanjang bulan Agustus 2017 ini, di Myanmar Barat, tepatnya di Desa Chut Pyin, pelanggaran HAM berat secara nyata dilakukan militer Myanmar berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Militer diktator Myanmar melakukan pembersihan etnis secara sistematis. Akibatnya, 400 muslim rohingya tewas. Dalam tragedi berdarah itu, menurut sumber lainnya, jumlah etnis Rohingya yang tewas di atas 400 orag. Ribuan orang Rohingya menjadi korban kejahatan kemanusiaan di Desa Chut Pyin Kota Rathedaung, Myanmar Barat.

Ada beberapa analisis yang muncul, mengapa tokoh berpengaruh di Myanmar Aung San Suu Kyi tidak berdaya. Pertama, campur tangan orang-orang Buddha kepada etnis Rohingya tidak berdaya lagi, kemudian menjadikan etnis ini menjadi kelompok yang tertindas. Di Myanmar, justru kelompok agama pengaruhnya lebih dahsyat ketimbang militer. Ini terjadi serentak di seluruh bidang, seperti hak ekonomi, pendidikan, politik bahkan media. Dakwah etnis Rohingya dalam beberapa lini, terhambat akibat tindakan kekerasan kelompok agama.

Kedua, Aung San Suu Kyi sangat ketakutan di bidang politik. Karena kelompok agama yang kuat, maka secara otomatis pengaruhnya ke rakyat Myanmar justru diperhitungkan. Tokoh perempuan berpengaruh ini, tidak berdaya terkait kasus pelanggaran HAM oleh pengikutnya. Peraih Nobel perdamaian ini, ternyata tidak dapat berbuat banyak untuk menyuarakan keamanan dan perdamaian di negaranya sendiri. Yang dikhawatirkan Suu Kyi lagi, justru dirinya akan kehilangan para pengikutnya yang  mayoritas berasal dari penganut Buddha.

Akhirnya, tanpa mengklaim siapa yang salah atau benar, saya kira Indonesia harus tampil menjadi pemeran utama dalam perdamaian etnis Rohingya di Myanmar. Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan kenapa harus Indonesia. Indonesia termasuk anggota ASEAN, penduduk terbanyak di Asia Tenggara dan dari pengalaman Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia bisa dibilang sukses.

Di sisi lain, Indonesia adalah penganut muslim terbanyak dunia. Karena penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia pun ikut dalam keanggotaan OKI. Di sinilah, peran Indonesia harus ditunjukkan ke dunia internasional, agar mata dunia mengetahui bahwa Indonesia ikut andil dalam memainkan peranan politik dunia, ikut mendamaikan kelompok yang bertikai untuk mengamankan pelanggaran HAM. Hemat saya, sebagai anggota OKI, Indonesia dapat memainkan perannya mengajak kawasan Timur Tengah menekan Myanmar segera menghentikan pembantaian etnis Rohingya di negara tersebut. Kita hanya menunggu sikap tegas Indonesia berdiplomasi politik dengan OKI untuk menyelamatkan etnis Rohingya dari pembantaian sadis dan mengerikan. **

** Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Pascasarjana UIN-SU dan UMSU **

0 comments:

Post a Comment