Powered by Blogger.
Home » » Geliat Politik SBY-Prabowo

Geliat Politik SBY-Prabowo


Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA

Pasca disahkannya RUU Pemilu menjadi UU, geliat politik para politisi kita di negeri ini terlihat kontras. Kontras karena partai politik (parpol) koalisi pemerintah maupun oposisi pemerintah mulai terbelah. Fakta inilah yang membuktikan ranah politik lebih mendominasi pasca RUU Pemilu disahkan.

Tensi politik parpol oposisi mulai menunjukkan taringnya untuk berseberangan dengan parpol koalisi pemerintah. Sangat tidak berlebihan, jika saya menyebut dua katub parpol oposisi ini menyatu yakni Demokrat dan Gerindra. Tokoh sentralnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto. Dua tokoh ini mulai menggagas silaturrahim politik, dan kita yakin silaturrahim politik yang dilakukan Kamis (27/7) malam itu, akan menentukan peta politik baru Indonesia khususnya menghadapi Pilpres 2019. Kemungkinan lain, pertemuan itu untuk mengkonsolidasi politik menghadapi UU Pemilu yang menetapkan syarat ambang batas pencapresan presidential threshold 20% atau 25% suara sah parpol atau gabungan parpol.

Kerja-kerja politik yang dilakukan SBY-Prabowo ini mulai terbaca publik. Geliat politik dan keputusan politik sementara yang dihasilkan dalam pertemuan itu memberikan arah politik betapa ketatnya pertarungan pilpres 2019 mendatang. Parpol yang tidak mencukupi presidential threshold-nya, harus bekerja keras melobi parpol lain. Nah, kuat dugaan pertemuan SBY-Prabowo banyak membicarakan hal-hal strategis menghadapi Pileg dan Pilpres 2019.

Sikap yang ditunjukkan dua pentolan jenderal purnawirawan itu, membuktikan bahwa konsolidasi politik sangat penting menghadapi agenda besar politik Indonesia pada Pileg dan Pilpres 2019. Drama politik dua jenderal ini meski menunjukkan ambisi politiknya, namun hal itu sangat wajar dilakukan demi menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Momentum pertemuan dua tokoh ini, tidak boleh ketinggalan melalui ngopi barengnya untuk mengeratkan persahabatan dan menyatukan langkah politik. Momentum silaturrahim politik ini, dipastikan akan memperluas jaringan sekaligus memperbanyak teman politik menghadapi presidential threshold mendatang.

Peta Politik
Pertanyaan sederhana patut kita ajukan, bagaimana dukungan parpol terhadap pemerintah? Selama Joko Widodo sebagai presiden, dukungan parpol terhadap pemerintah terbelah menjadi dua kubu. Pertama, parpol koalisi pemerintah. Sedangkan kedua, parpol oposisi. Dua kubu parpol ini menjadi muara perjalanan pemerintahan di Indonesia yang sudah dijalani Jokowi hampir tiga tahun. Parpol oposisi terkesan sebagai parpol yang terus menerus mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah. Sedangkan parpol koalisi pemerintah, parpol pendukung kebijakan pemerintah.

Ternyata belakangan, parpol koalisi pemerintah berbeda pendapat dalam memutuskan RUU Pemilu menjadi UU. Ada lima poin krusial yang menjadi perdebatan dalam RUU Pemilu tersebut, salah satu di antaranya poin pencalonan presiden atau presidential threshold. PAN dianggap menjadi parpol yang lari dari koalisi pemerintah. Bahkan parpol besukan Amien Rais itu walk out dan bergabung dengan parpol lain yang menolak angka presidential threshold 20%. Saya kira, momentum inilah yang dijadikan SBY-Prabowo untuk mengkonsolidasi parpol lainnya menghadapi geliat politik Indonesia menjelang pilpres nanti.

Tak berlebihan pula, arena politik Indonesia mulai terbelah dua kubu. Parpol pendukung pemerintah, ternyata jauh-jauh hari melakukan deal-deal politik untuk mengesahkan RUU Pemilu sesuai keiginan pemerintah. Tapi sebaliknya, kubu parpol oposisi menjadikan momentum ini untuk mencitrakan parpolnya sebagai parpol yang mandiri yang terkesan melawan kebijakan pemerintah.

Andaipun peta dua kubu ini bertahan, maka berdasarkan data Pemilu 2014, analisis kekuatan dua kubu tersebut dapat dirinci melalui komposisi kursi di DPR RI. Koalisi oposisi terdiri dari Gerindra 13,04%, PKS 7,14%, Demokrat 10,9%, dan PAN 8,75% (jika ikut), sehingga total parpol oposisi ini kekuatannya menjadi 39,98%. Parpol yang disebut parpol oposisi ini, untuk Pilpres 2019 belum mencalonkan nama calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Tetapi, geliat politik yang dilakukan SBY-Prabowo ini arah politik parpol oposisi ini akan mencalonkan Prabowo-AHY melawan pasangan incumbent Joko Widodo jika PDIP mencalonkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Sedangkan jika kita analisis parpol koalisi pemerintah, maka komposisi kursi di DPR RI dari koalisi pendikung pemerintah rianciannya, PDIP 19,46%, Golkar 16,25%, PPP 6,96%, NasDem 6,25%, Hanura 2,86%, PKB 8,39% (jika ikut).  Sehingga totalnya 60,17%. Analisis politik parpol koalisi pendukung pemerintah untuk Pilpres 2019, nama Joko Widodo masih kans yang kuat untuk dicalonkan kembali. Itupun analisis politik yang diuraikan di atas, tentu akan bergeliat lagi, dinamika politik yang berkembang belakangan, setidaknya menguatkan parpol koalisi pendukung pemerintah semakin kokoh menguatkan pencapresan Joko Widodo pada pilpres 2019 nanti.

Menguatnya parpol kubu koalisi pendukung pemerintah, membuat kubu parpol oposisi bergerak cepat. Gerakan cepat politik ini, paling tidak sudah dimulai SBY-Prabowo. Andaipun deal politik mengisyaratkan Demokrat-Gerindra berkoalisi dalam pilpres, dukungan presidential threshold sudah lebih dari cukup sebagai modal awal melawan calon incumbent. koalisi Demokrat-Gerindra tinggal mengembangkan komunikasi politiknya dengan parpol yang seirama dengan Demokrat-Gerindra.

Dengan demikian, Pilpres 2019 mendatang kemungkinan akan diikuti tiga pasangan calon. Keinginan Jokowi sebagai calon tunggal pun dipastikan bisa gagal. Padahal, pemerintah sudah berhasil melobi DPR untuk menyetujui klausul calon tunggal. Tapi, klausul ini bisa gagal, jika koalisi parpol oposisi menguatkan barisan, bahkan peluang pun terbuka lebar jika parpol oposisi dapat menarik parpol pendukung pemerintah masuk ke kubunya. Jika ada dua pasangan calon atau tiga pasangan calon pada pilpres nanti, Jokowi diperkiraan mendapat lawan tangguh dari kiblat Hambalang lewat Prabowo dan dari kiblat Cikeas lewat SBY.

Meski Golkar dan PDIP sepakat untuk berkoalisi, namun peta politik tidak selalu bersamaan dengan PPP dan PKB. Hemat saya, peta dukungan opsi presidential threshold pada rapat paripurna DPR yang lalu, justru tidak selalu mencerminkan realitas politik yang sesungguhnya. Ini artinya, tidak ada jaminan, bahwa parpol pendukung pemerintah itu tetap eksis mendukung Joko Widodo sebagai capres incumbent. Kita sebut saja PPP atau PKB. Dua parpol ini hemat saya mencari politik aman. Di mana yang untung, maka sangat memungkinkan arah kiblatnya masuk ke ranah yang menguntungkan parpolnya.

Setidaknya, apa yang dilakukan SBY-Prabowo dalam silaturrahim politiknya, membuka mata rakyat Indonesia, khususnya politisi untuk menguatkan barisan politiknya agar lepas dari barisan status quo. Dinamika politik Indonesia akan terus bergerak menjelang pileg dan pilpres 2019 akan datang. Loncatan-loncatan politik dan perubahan politik pasti terjadi. Akhirnya, pertemuan politik SBY-Prabowo yang sudah berlangsung jangan kita anggap dari sisi negatifnya saja, tetapi lebih jauh sisi positifnya juga banyak yang harus diambil pelajaran, terutama bagi parpol pendukung atau parpol oposisi. Semoga bangsa Indonesia kuat menghadapi banyak guncangan politik. !!

** Penulis Dosen FIS dan Pascasarjana UIN Sumatera Utara ** 

0 comments:

Post a Comment