Powered by Blogger.
Home » » Kontroversi Dana Parpol

Kontroversi Dana Parpol


Oleh :
Dr Anang Anas Azhar MA


TARIK ulur kenaikan dana partai politik (parpol) kembali bergulir. Bergulir karena pemerintah bersikukuh ingin menaikkan dana parpol. Rencana itu pun ditengarai menjadi ajang barter politik pragmatis untuk memuluskan pembahasan RUU Pemilu yang kini perjalanan pengesahannya sedang mandek di DPR.

Kontroversi inipun mengurai benang merah panjang antara pemerintah dan DPR. DPR satu sisi ingin sesegera mungkin mempercepat pengesahan RUU Pemilu. Pertimbangan politisnya sangat singkat, sementara pemerintah menginginkan sejumlah revisi RUU Pemilu, salah satu nomenklatur revisi itu pemerintah mengusulkan kenaikan dana parpol dari jumlah yang diterima parpol sebelumnya.

Pemerintah melalui Mendagri Tjahjo Kumolo, resmi menyampaikan kepada publik atas rencana kenaikan dana parpol tersebut. Bahkan, usulan kenaikan ini masuk dalam revisi Peraturan Pemerintah No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Sedangkan PP No. 5/2009 merupakan amanat Undang-Undang Parpol, dan PP ini sudah berjalan sebelumnya. Pertanyaannya sekarang, mengapa pemerintah bersikukuh ingin manaikkan dana parpol? Besaran dana yang bakal diterima parpol setiap tahunnya ditaksir kenaikan mencapai 10 kali lipat dari dana parpol yang diterima saat ini. Sebelumnya, parpol hanya menerima Rp 108 per suara, dan sesuai usulan yang ada dalam rencana menjadi Rp 1.000 per suara sah. Ini jelas akan mengurangi APBN kita setiap tahunnya, bahkan bisa jadi mengancam anggaran di sektor lain. Karena dana APBN sebagian besar akan tergerus untuk membiayai parpol yang kursinya ada di parlemen. 

Konspirasi Politik Sejumlah isu-isu strategis di negara ini menjelang pemilu 2019 semakin mahal untuk diperbincangkan. Konspirasi menaikkan dana parpol pun menjadi barang yang mahal. Bayangkan saja, komunikasi politik antara pemerintah dan DPR saat pengesahan RUU Pemilu ingin dipercepat akhirnya mandek. Pemerintah kemudian memainkan konspirasi politik dengan DPR, karena ingin sama-sama untung. Hal yang sangat krusial adalah, ketika pemerintah ngotot menaikkan dana parpol. Kemudian, usulan ini mendapat sambutan luar biasa dari DPR.

Konspirasi ini sengaja digulirkan agar kepentingan bersama berjalan mulus.  Meski menuai kontroversi, karena dicurigai sebagai upaya pemerintah melicinkan pembahasan RUU Pemilu berjalan dengan baik. Kita dapat melihat, begitu pemerintah menggulirkan rencana kenaikan dana parpol, gayung bersambutpun berjalan. Sejumlah parpol melalui perwakilannya di DPR mulai melunak. Pimpinan DPR pun menyambut baik atas kenaikan dana parpol itu.

Lantas bagaimana nasib parpol baru atau parpol non seat yang tidak memiliki keterwakilan di Senayan? Menurut hemat penulis, setidaknya harus ada regulasi baru untuk parpol baru dan parpol  non seat. Jika pemerintah dan DPR sepakat menaikkan dana parpol, peruntukannya tidak hanya diberlakukan kepada parpol yang ada kursi di DPR. Tapi, pemerintah juga harus memikirkan anggaran bagi parpol yang diurai di atas. Jika tidak, pemerintah tetap saja bersikap diskriminatif kepada parpol baru dan non seat.  

Secara sederhana, gambaran yang sudah ada jika merujuk formulasi peraturan saat ini, PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 mendapat bantuan keuangan yang jumlahnya cukup besar yakni Rp 2,55 miliar. PDIP memperoleh jumlah dana tersebut tiap tahun. Angka itu didapat lantaran PDIP berhasil meraup 23,68 juta suara pada Pemilu 2014 yang dikalikan Rp 108. Ini artina, jika kenaikan disepakati Rp 1.000, maka PDIP akan mendapat Rp 23,68 miliar dalam setahun. Jumlah ini baru satu parpol saja, lantas bagaimana dengan parpol yang lainnya seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, PKS, Hanuran dan lainnya? Saya kira, pemerintah harus bersikap objektiflah untuk memikirkan dana parpo yang baru. Justru parpol barulah yang banyak membutuhkan dana menjelang pemilu 2019 nanti.

Kontroversi kenaikan dana parpol ini sangat ditanggapi beragam di kalangan Senayan. Ada parpol berpura-pura "jual mahal". Ingin menolak demi sebuah pencitraan di publik. Sebaliknya, ada parpol yang terang-terangan mendukung kenaikan dana parpol tersebut. Beragam tanggapan ini akhirnya berujung untuk memuluskan pembahasan RUU Pemilu. Jika kenaikan dana parpol direalisasikan, barangkali pembicaraan Undang-undang Pemilu jadi lebih mulus. Upaya ini dilakukan pemerintah, demi sebuah kesepakatan konsensus politik bersama antara pemerintah dan DPR.

Kendati memunculkan banyak kecurigaan, tapi sangat beralasan pula jika melihat pembahasan RUU Pemilu yang tak tuntas. Pembahasan RUU Pemilu tak tuntas karena persoalan komunikasi politik yang mandek antara pemerintah dan DPR. Komunikasi politik pemerintah dan DPR akan cair, jika kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Kenaikan dana parpol justru menguntungkan parpol. Saya kira tidak berlebihan, keuntungan pemerintah ini juga akan dinikmati parpol pemenang pemilu 2014 lalu, sebagai buah hasil perjuangan menaikkan dana parpol.

Di sisi lain, kontroversi kenaikan dana parpol ini terlihat atas pecahnya dukungan parpol di DPR. Yang paling alot luar biasa soal ambang batas suara pencalonan presiden atau presidential treshold. Kepentingan pemerintah ingin ambang batas pencalonan presiden ada di kisaran 20-25 persen. Jika ini terjadi dan RUU Pemilu  disahkan, maka partai atau koalisi partai hanya dapat mencalonkan presiden dan wapres jika memiliki 20-25 persen suara. Opsi inipun hanya didukung tiga fraksi yaitu, PDIP, Golkar dan Nasdem. Lantas, enam fraksi lain antara lain Demokrat ingin presidential treshold lebih rendah bahkan ditiadakan alias nol persen. Kontroversi ini pun terjadi lagi dengan Hanura. Hanura justru mengambil jalan tengah dengan ambang batas di kisaran 10-15 persen.

Hemat penulis, ada beberapa analisis politik yang dapat kita petik, jika saja usulan kenaikan dana parpol itu disepakati pemerintah dan DPR. Pertama, kenaikan dana parpol hampir pasti disepakati secara bersama. Seluruh parpol yang memiliki perwakilan di Senayan, akan mengetok kesepakatan kenaikan dana parpol.  Dinamika politik ini pasti terjadi, dan RUU Pemilu pengesahannya akan lebih cepat. Kedua, kenaikan dana parpol akan mengurangi money politic. Caranya dengan barter politik yang digunakan untuk mengesahkan RUU Pemilu dengan menaikkan dana parpol. Secara elegan, parpol parpol juga sama-sama diuntungkan. Ketiga, jika kenaikan dana parpol disepakati, akan mengurangi munculnya pengesahan RUU Pemilu yang deadlock.

Belajar demokrasi politik di luar negeri misalnya, Negara Meksiko sudah memberlakukan hal yang sama seperti Indonesia. Bahkan, Meksiko memberikan bantuan dana untuk parpol mencapai 200 juta dolar per tahun untuk satu parpol. Yang jelas, anggaran yang dialokasikan itu bukan untuk pribadi, tetapi untuk pengembangan parpolnya. Belajar dari Meksiko, hemat penulis pemerintah tak perlu ragu-ragu dan harus mampu menjalankan hal itu, dengan sejumlah catatan membuat regulasi kenaikan dana parpol dan alokasi dana parpolnya untuk apa. Bisa dilakukan untuk pembinaan kader atau dana kampanye. Semoga !! **

** Penulis adalah Dosen FIS dan Pascasarjana UINSU ** 

0 comments:

Post a Comment