Powered by Blogger.
Home » » Berpolitik Tanpa Parpol ; (Refleksi Milad Pemuda Muhammadiyah ke 85 Tahun)

Berpolitik Tanpa Parpol ; (Refleksi Milad Pemuda Muhammadiyah ke 85 Tahun)

Oleh :
Dr Anang Anas Azhar, MA
SALAH satu perekat, penyeimbang dan pelanjut gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar Muhammadiyah adalah Pemuda Muhammadiyah. Organisasi otonom tertua Muhammadiyah ini, kini memasuki usianya ke 85 tahun tepatnya tanggal 2 Mei 2017. Pemuda Muhammadiyah berdiri 26 Dzulhijjah 1350 H bertepatan 2 Mei 1932.

Ketika bangsa ini berada pada masa pra-kemerdekaan, kiprah Pemuda Muhammadiyah memiliki peran strategis untuk ikut memerdekakan Indonesia dari kolonial Belanda. Sikap-sikap yang ditunjukkan kader Pemuda Muhammadiyah, sangat bersentuhan politik. Ini dilatarbelakang karena bangsa Indonesia ingin bebas dari penjajahan Belanda yang mendera Indonesia selama 350 tahun dari penjajahan. 

Sekilas ke belakang, saat Muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta, peserta muktamar memutuskan kembali aktifnya Kepanduan Hizbul Wathon (HW), dan pada Muktamar 32 di Purwokerto memutuskan untuk memisahkan Struktur Organisasi antara HW dan Pemuda Muhammadiyah. Sejak itulah, Pemuda Muhammadiyah bergerak maju, dan mendapatkan tempat yang luas dalam Muhammadiyah dan masyarakat, sedangkan HW bergerak bersamaan dengan Pemuda Muhammadiyah.

Fakta historisnya, Pemuda Muhammadiyah banyak melahirkan tokoh-tokoh yang tampil dalam gelanggang Nasional dan Internasional, seperti Jendral Sudirman, Kahar Muzakkar, Prof HM Rasyidi, Brigjend Polisi Abdul Hamid Suasana, HM Marzuki Yatim, dan lain-lain. Meskipun sebagian dari mereka, pada akhirnya tidak masuk dalam struktural organisasi Pemuda Muhammadiyah, namun sikap dan amalan ibadah mereka sejalan dengan para pendiri dan gerakan Muhammadiyah. Mereka aktif dalam menjalankan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang masing-masing.

Melihat letak kesejarahan Pemuda Muhammadiyah, sejak kelahirannya sudah berdekatan dengan politik. Kondisi bangsa ketika itu mengharuskan kader Pemuda Muhammadiyah berjuang di ranah politik, meski di masa itu belum muncul partai politik. Apakah partai politik bentukan pemerintah di masa pra kemerdekaan atau sebutan lainnya.

Lantas pertanyaannya, mengapa kader-kader Pemuda Muhammadiyah ketika masuk jalur politik untuk memperjuangkan bangsa Indonesia dari kolonial? Hemat penulis, sederhana saja menjawabnya. Saat itu bangsa kita terfokus menyelamatkan negeri ii dari penjajahan Belanda. Kita tidak mau diatur bangsa lain, terlebih hasil sumber daya alam yang dimiliki harus "lari" ke luar negeri. Tekad dan komitmen inilah yang menggiring kader Pemuda Muhammadiyah ketika itu harus masuk ranah politik.

Berpolitik Tanpa Parpol
Konstelasi politik pada ranah pemerintah, membuktikan bahwa Indonesia mengalami tiga fase transisi pemerintahan. Fase itu disebut Era Orde Baru, Era Orde Baru dan Era Reformasi. Perjalanan tiga fase tersebut menjadikan Indonesia tampil sebagai negara berkembang. Pada tiga fase itu pula, nafas gerakan Pemuda Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan ikut membangun Indonesia. 

Salah satu bentuk nyata peran Pemuda Muhammadiyah, bahwa lembaga ini tidak pernah berafiliasi langsung atau terlibat masuk partai politik. Pemuda Muhammadiyah tegak berdiri sebagai organisasi yang konsern mengurusi bangsa ini dalam bingkai civil society. Kalaupun ada keterlibatan Pemuda Muhammadiyah dalam politik pragmatis, itu hanya personil dari kader-kader Pemuda Muhammadiyah. Jika kader ingin berpolitik, dan masuk ke partai politik, Pemuda Muhamamdiyah secara institusi tidak melarangnya. Kader yang terlibat partai politik secara elegan tidak membawa-bawa kepentingan politik partainya masuk ke Pemuda Muhammadiyah. Sikap elegan Pemuda Muhammadiyah seperti inilah, yang mempertahankan gerakan Pemuda Muhammadiyah tidak masuk politik pragmatis.

Kendati Pemuda Muhammadiyah tidak masuk politik pragmatis, tetapi bukan berarti Pemuda Muhammadiyah buta politik. Peran strategis yang ditampilkan Pemuda Muhammadiyah melalui kader-kadernya, muncul sebagai refleksi bahwa Pemuda Muhammadiyah peduli terhadap politik yang dibingkai dalam civil society. Secara konseptual civil society, memiliki pengertian sangat variatif seperti menempatkan kader-kader terbaik Pemuda Muhammadiyah di ruang  publik untuk kepentingan bangsa dan negara. Formatnya dapat dimanifestasikan, setiap kader yang aktif melaljui jalur non-parpol, dapat dimanfaatkan, apakah di bidang politik, pendidikan, sosial, kesehatan atau bidang strategis lainnya.

Keterlibatan kader Pemuda Muhammadiyah, tidak semestinya full masuk ke ranah politik pragmatis dengan melibatkan diri dalam stuktur parpol. Tetapi, keterlibatan kader Pemuda Muhammadiyah juga, dapat dilakukan aktif dalan konteks keummatan seperti civil society. Lantas apa maksud civil society dalam uraian tulisan ini? Setidaknya, ada dua perspektif melihat makna civil society. Pertama, menjadikan negara anti-tesis terhadap civil society. Artinya, kader Pemuda Muhammadiyah tak semestinya memilih jalur politik pragmatis dan masuk di parpol. Tetapi, seorang kader Pemuda Muhammadiyah dapat juga memilih jalur non-parpol yang lebih bermanfaat. Misalnya, ikut serta memantau dinamika politik Indonesia. Memantau dan mengawal pembuataan undang-undang untuk kepentingan dan kemaslahatan bangsa. Begitu juga di politik lokal, kader juga dapat mengawal pengesahan perda yang dilakukan legislatif dan eksekutif. Jadi, hemat saya peran-peran strategis kader Pemuda Muhammadiyah harus muncul, untuk mengawal roda pembangunan di daerahnya masing-masing.     

Kedua, memaknai civil society juga, kader Pemuda Muhammadiyah dipersilakan untuk mengembangkan potensinya untuk non-goverment. Keterlibatan kader Pemuda Muhammadiyah pada jalur sukarela seperti pendirian LSM juga diperlukan, guna mengawal jalankannya pemerintahan ini. Memang harus diakui, bahwa jalur non-partai politik ini dianggap jalur sepi dan kurang diminati, tetapi bukan berarti jalur ini tidak memiliki kekuatan.

Justru sebaliknya, Pemuda Muhammadiyah tidak masuk ranah non parpol, akan menjadikan organisasi ini berjalan pada jalur civil society menjadi perisai masyarakat. Kemudian, civil society ikut serta melengkapi kebutuhan masyarakat tanpa interest yang terlalu pragmatis. Yang terpenting lagi adalah, konsep civil society mengukuhkan kekuatan Pemuda Muhammadiyah berada pada tingkat politik kultural baik secara non-formal dan non-struktural. Dalam uraian inilah yang penulis maksudkan Pemuda Muhammadiyah berpolitik tanpa parpol.  

Akhirnya, memasuki usia Pemuda Muhammadiyah ke 85 tahun ini, penulis mengajak kader intelektual Pemuda Muhammadiyah menjadikan organisasi ini menjadi kendaraan kita untuk mewujudkan visi Islam yang berkemajuan, berurat dan berakar kepada dua hal penting. Pertama, kemajuan Nalar. Kekuatan nalar maksudnya, menjadikan kader-kader Pemuda Muhammadiyah terus berkarya dan menuntut ilmu. Dan menjadikan nalar itu, untuk mencerahkan dan membebaskan diri dari kejumudan.

Kedua, meninggikan Akhlak. Akhlak diperlukan untuk mencerahkan peradaban bangsa. Islam mengajarkan akhlak, tanpa akhlak yang baik, hemat penulis bisa jadi negara akan hancur. Di usianya ke 85 tahun, Pemuda Muhammadiyah harus bangkit. Seluruh kader dan simpatisan Pemuda Muhammadiyah di Indonesia, harus menjadikan organisasi ini tempat bernaung meniti karirnya. Setiap nafas dan gerak dan program Pemuda Muhammadiyah, harus diwarnai peninggian dan perbaikan akhlak.  Semoga !!

** Penulis adalah Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumut Periode 2006-2010. Dosen Pascasarjana UINSU dan UMSU **

0 comments:

Post a Comment