Powered by Blogger.
Home » » PT Freeport Abaikan Masyarakat Adat Papua

PT Freeport Abaikan Masyarakat Adat Papua

Jakarta - Ketua Masyarakat Adat Suku Amungme yang berada di kawasan Timika, Papua, Odizeus Benal mengatakan, masyarakat telah kehilangan hak-haknya dalam menyuarakan gagasan. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam di wilayahnya, termasuk dalam persoalan PT Freeport Indonesia (PTFI.

Adizeus pun mendesak pemerintah dan PTFI untuk mulai melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan mengenai PT FI.

"Kami tidak minta PT FI keluar dari tanah kami, tapi hanya saja kenapa sejak awal tak ada kami dilibatkan, kami kan tidak tahu dampaknya akan bagaimana, seperti apa, untungnya apa, sudah lebih lima puluh tahun ini terjadi," kata Odizeus Benal di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (3/3).

Odizeus mengatakan, pengabaian hak masyarakat adat sudah terjadi sejak PT Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya I (pertama) pada tahun 1967.

Menurutnya, kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun PTFI telah secara sepihak mengeksploitasi gunung dan tanah milik masyarakat adat. Akibatnya kata Odizeus, tanah Papua khususnya Timika saat ini telah mengalami kerusakan akibat pengerukan tambang.  "Total ada lima wilayah yang sudah mengalami kerusakan karena adanya PTFI," kata Odizeus.

Dampak berdirinya PTFI ini, menurut Odizeus bukan hanya berakibat pada kerusakan lahan dan lingkungan, melainkan juga kesehatan warga.

Ia mengatakan saat ini banyak masyarakat Papua yang mengalami gangguan kesehatan karena terpapar limbah kimia dari aliran sungai dan udara akibat aktivitas tambang di kawasan tersebut.

"Kami yang terkena dampak, kami yang merugi, kami yang wilayahnya dirusak, tapi kami tak pernah sekalipun dilibatkan," Kata Odizeus.

Odizeus juga menyoroti keputusan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017. Menurutnya, keputusan itu merupakan cermin kesewenangan pemerintah yang masih berlanjut.

PP No 1 Tahun 2017 dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Januari lalu. Dalam PP itu pemerintah memberi kelonggaran terhadap perusahaan tambang agar dapat mengekspor konsentrat mineral dengan beberapa persyaratan.

Persyaratan itu di antaranya mengatur soal Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali.

PP tersebut juga mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter dalam waktu lima tahun dan melakukan divestasi sebesar 51 persen secara bertahap selama 10 tahun.

Menurut Odizeus, PP itu malah merugikan masyarakat adat di kawasan Timika. Sebab, banyak pegawai pribumi yang merupakan masyarakat adat Amungme dan bekerja di Freeport justru dirumahkan sejak PP tersebut dikeluarkan.

"Sedikit banyak memang kami terbantu untuk perekonomian karena Freeport, masyarakat bisa menjadi buruh tambang. Tapi karena mereka produksi dikurangi ya terpaksa harus ada pegawai yang dirumahkan, jatuhnya ke kami lagi," kata dia. ** cnni


0 comments:

Post a Comment