Powered by Blogger.
Home » » PENCITRAAN POLITIK SEGITIGA PAN

PENCITRAAN POLITIK SEGITIGA PAN

Oleh : Anang Anas Azhar 
Jika tidak ada aral melintang, Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional selanjutnya disebut PAN Sumatera Utara menggelar perhelatan Rapat Pimpinan Wilayah (Rapimwil) di Kota Sibolga tanggal 14-15 Januari 2017 mendatang. Perhelatan Rapimwil ini merupakan agenda penting setelah Rakerwil dan Muswil untuk mengevaluasi program kerja PAN menyambut persiapan pemilihan umum Tahun 2019.

Tulisan yang penulis paparkan ini, sama sekali bukanlah ingin mengajari "limau berduri" para fungsionaris PAN di Sumatera Utara. Pesan-pesan yang diuraikan dalam tulisan ini merupakan pernik-pernih pemikiran pribadi dari hasil penelitian yang dilakukan penulis secara akademik, sekaligus kontribusi pemikiran PAN Sumatera Utara ketika menghadapi persiapan pemilihan elektoral tahun 2019, terkhusus persiapan pencitraan PAN dan para politisi PAN yang mencalonkan diri sebagai legislatif. Menghadapi agenda besar partai politik ini, tentu dibutuhkan beberapa model pendekatan dalam mencitrakan PAN sebagai partai pengusung aspirasi rakyat.  

Seiring kebutuhan itu, membangun citra politik dibutuhkan waktu yang relatif lama. Publik membutuhkan rentan waktu yang panjang untuk melihat kesesuaian pola dan alur politik partai politik. Membangun pencitraan membutuhkan konsistensi dari semua aspek yang dilakukan partai politik atau perseorangan bersangkutan seperti program kerja, platform, reputasi. Ketika ditemukan inkonsistensi yang dilakukan, pencitraan yang terekam dipikiran publik menjadi tidak utuh.

Pencitraan merupakan kesan yang sengaja diciptakan oleh sebuah objek, misalnya sekelompok orang atau organisasi. Citra organisasi sangat penting bagi setiap organisasi. Tidak terkecuali organisasi politik yang dalam hal ini tentu partai politik, karena citra bagi partai politik sangat berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilihan umum. Dengan kata lain citra yang positif dari sebuah partai politik akan mampu menarik simpatisan massa pendukung yang dapat mendongkrak kepopuleran dari satu partai. Begitu pentingnya citra bagi partai politik, diperlukan sebuah langkah untuk membangun atau membentuk citra positif PAN agar tetap mendapatkan kepercayaan di hati masyarakat. Fakta empiris membuktikan pencitraan politik sangat dibutuhkan, meskipun membutuhkan waktu lama. Pencitraan dapat mendorong perolehan suara partai pada pemilu.

Sebagai salah satu fakta bahwa pencitraan politik mampu mempengaruhi arah pemilih untuk menentukan pilihannya terhadap satu partai, dapat ditelaah dari pencitraan yang dilakukan PAN. PAN merupakan partai yang lahir dari rahim gerakan reformasi yang didirikan tokoh-tokoh reformasi lintas etnis, ras, agama dan golongan. PAN mengukuhkan diri sebagai partai terbuka, mandiri, menjunjung tinggi moralitas keagamaan, kemanusiaan dan kemajemukan, yang bertujuan untuk pencerahan bangsa. Azas PAN berakar pada moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan.

Posisi PAN
Sejak Pemilu tahun 1999, PAN menjadi salah satu kontestan yang survive. Dapat diperhatikan, suara PAN dalam setiap Pemilu relatif fluktuatif. Pemilu 1999, PAN berada di peringkat keenam dalam peroleh suara nasional. PAN memperoleh 7.528.956 suara (7,12 %) dan menempatkan 34 orang wakilnya di DPR. Citra PAN saat berkampanye mendapat dukungan tokoh-tokoh intelektual, PAN memposisikan diri sebagai partai kalangan menengah dan terdidik. Selain itu, PAN melakukan pencitraan melalui peguatan semangat reformasi dalam tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana disuarakan masyarakat luas. Pada Pemilu 2004, PAN berada di peringkat ke lima perolehan kursi sebanyak 53 kursi (6,44 %). Pada tahun 2009 PAN meraih suara sebesar 46 kursi (8,2 %), sedangkan pada tahun 2014, PAN meraih kursi sebanyak 52 kursi (9,45 %).

Jumlah peroleh suara dan perolehan kursi sebagaimana yang telah dijelaskan diuraian itu, tentu sangat jauh dari jumlah perolehan suara partai-partai lama. Tetapi secara realitas, PAN sampai pemilu 2014 dan hingga sekarang masih tetap survive dalam mengikuti kontestasi politik ke-Indonesiaan. Survivalitas itu dapat dilihat dari peningkatan perolehan kursi PAN yang terus meningkat dari tahun 1999 sampai 2014.

Politik Segitiga
Banyak kalangan memprediksi PAN akan bernasib sama dengan partai politik yang didirikan tanpa tokoh sentral. Namun survive-nya PAN sampai Pemilu 2014, membuktikan PAN mampu mencitrakan diri sebagai partai politik yang berada pada papan tengah. Lantas, apa resep yang dilakukan PAN hingga tetap bertahan dari pemilu ke pemilu? Model yang dilakukan PAN dari aspek penetapan caleg menggunakan tiga isu sentral. Penulis menyebutya dengan politik segitiga PAN. Pertama, dalam menetapkan caleg, PAN masih memprioritaskan isu kedaerahan. Caleg yang berasal dari daerah asalnya, dan ingin mencalonkan diri dikembalikan ke daerah asal. Penguatan kedaerahan menjadi aspek penting dalam pencitraan politik PAN.

Kedua, isu kesukuan. Kesukuan masih menjadi latarbelakang kuat dalam menetapkan caleg. Andai asal caleg dari etnis Nias, maka harus mencalonkan diri dari Nias atau Kepulauan Nias. Begitu juga bila etnis caleg berasal dari Tabagsel atau batak, nama calegnya diambil dari etnis asal. Model pencitraan politik seperti ini dibutuhkan guna menguatkan dan menambah perolehan suara dari etnis pendukung. Sedangkan ketiga, isu keagamaan. Isu agama ternyata masih dominan dimunculkan oleh sejumlah daerah. Meski mayoritas penganut agama di Sumatera Utara, tetapi tidak serta merta caleg yang diusulkan harus dari agama mayoritas. Akan tetapi, harus dilihat dari daerah asalnya. Jika mayoritas daerahnya nasrani, penetapan calegnya harus diambil dari nasrani.

Tiga isu sentral ini, setidaknya menjadi gambaran politik yang pernah dilakukan PAN. Ini berdampak kuat dalam keterpelihan caleg pada pemilihan umum 2014. Sejumlah caleg yang memakai isu agama, kedaerahan dan etnis menjadi faktor penentu PAN tetap bertahan. PAN bertahan, karena tanpa disadari pencitraan politik sudah berjalan. Pencitraan politik yang berjalan ini, sudah membuktikan PAN survive dalam seluruh tingkat perwakilannya. Apakah di DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
    
Sebaliknya, harus diakui juga sejumlah daerah masih ditemukan kegagalan dalam penetapan caleg. Kegagalan yang dimaksudkan penulis adalah menurunkan suara PAN, bahkan tidak adanya keterwakilan PAN di lembaga legislatif. Sebagian pengurus PAN, belum mau menetapkan caleg berdasarkan tiga isu sentral yang diuraikan. Tetapi, meeka masih menetapkan calegnya berdasarkan politik transaksional dan kepentingan politik tertentu. Akhirnya, jangankan menambah suara PAN, anggota DPRD pun tidak masuk untuk wakil PAN di lembaga legislatif.

Penutup
Akhirnya, harapan besar yang diharapkan penulis menyambut Rapimwil PAN Sumut di Sibolga nanti, PAN setidaknya sudah memikirkan hal-hal strategis sedemikian rupa. Survivalitas PAN sebagai partai baru, harus dipertahankan pengurus DPW PAN Sumatera Utara, terutama di beberapa kabupaten yang menjadi basis massa PAN, misalnya Labusel, Asahan dan Sergai, PAN harus lebih banyak berbuat untuk masyarakat, sehingga paling tidak pada pemilu yang akan perolahan suara PAN mampu dipertahankan.

PAN harus lebih berani membuka diri dalam melebarkan strategi rekrutmen massanya. Artinya, PAN harus sudah mulai merekrut massa di luar Muhammadiyah, mengingat persaingan politik yang semakin ketat. Disarankan kepada pengurus PAN agar dalam menarik simpatik masyarakat, PAN menggunakan pendekatan komunikasi keagamaan, seperti komunikasi efektif, mengingat mayoritas masyarakat Sumatera Utara merupakan penganut multi agama yang masih melekat budaya manut kepada pemuka-pemuka agama. **

** Penulis adalah Doktor Komunikasi Islam Pascasarjana UIN Sumut Medan, Dosen FIS UIN, FISIP UMSU dan Wakil Ketua DPW PAN Sumut periode 2005-2010 **   








0 comments:

Post a Comment