Powered by Blogger.
Home » » PAN, Politik Tanpa Gaduh

PAN, Politik Tanpa Gaduh

Oleh : Anang Anas Azhar

Salah satu kado reformasi tahun 1998, pasca runtuhnya rezim Soeharto, munculnya multi partai politik dalam pemilihan umum Indonesia. Kado istimewa reformasi itu lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Lahirnya PAN dalam peta politik Indonesia, ternyata menjadi magnet tersendiri. Mengapa demikian? Karena tokoh pendirian partai ini dimotori bapak reformasi Indonesia Amien Rais. Sejak PAN lahir tanggal 23 Agustus 1998 lalu, harapan besar ada di tangan partai berlambang sinar matahari, agar PAN tampil sebagai pemenang pemilu tahun 1999.

Hasil pemilu 1999, ternyata memberi realitas politik yang berbeda. Kemenangan pemilu tidak berpihak kepada partai besukan Amien Rais itu. Partai-partai politik yang dilahirkan pada masa orde baru, masih bertengger di urutan atas dan tampil sebagai pemenang pemilu. Hasil pemilu tahun 1999, PAN justru memperoleh 7.528.956 suara. Dari hasil suara ini, PAN hanya mengantongi 34 senatornya di senayan. PAN bertengger pada urutan kelima pada pemilu tersebut. Urutannya, PDI Perjuangan (153 kursi), Partai Golkar (120 kursi), PPP (58 kursi) dan PKB (51 kursi) dan PAN 34 kursi.

Magnet politik hasil perolehan suara PAN saat itu, tidak memberi harapan lagi kepada pendiri PAN Amien Rais. Pemilu 1999, posisi Amien Rais yang dicalonkan PAN menjadi presiden secara perlahan melemah secara politik. Salah satu faktornya, karena perolehan suara PAN tidak sesuai target yang diinginkan. Untunglah ketika itu, pemilihan presiden/wakil presiden sebelum UUD 1945 diamandemen, belum pemilihan langsung melainkan masih di parlemen.

Meski suara PAN tidak terlalu signifikan perolehannya, pencalonan Amien Rais sebagai presiden tetap saja berjalan. Amien pun banyak didukung partai-partai kecil. Harapan besar untuk mencapreskan Amien Rais tentu sangat besar, apalagi Amien Rais dikenal sebagai figur yang kritis dan berhasil menumbangkan rezim Soeharto. Sayang letak keberuntungan Amien Rais belum berpihak kepadanya. Sistem pemilihan Presiden ketika itu masih di tangan MPR/DPR RI. Hasil Pemilu Presiden ketika itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden RI.

Selang lima tahun kemudian, perolehan suara PAN pada Pemilu 2004 mengalami penurunan. Perolehan suara PAN tidak lebih dari 6,7%. Pada Pemilu 2009 juga, perolehan suara PAN terus menyusut hanya sekitar 6.273.262 (6,2%) atau perolehan 51 kursi di DPR RI. Hemat penulis, kondisi ini perlu dilakukan evaluasi untuk membangkitkan kerja kader-kader PAN yang duduk di legislatif maupun seluruh pengurus di semua tingkatan. Sedangkan Pemilu 2014 lalu, suara PAN tetap bertengger pada urutan kelima, dan posisi inilah yang menguatkan PAN sebagai partai politik papan tengah.

Politik Tanpa Gaduh
Tak bermaksud menyanjung PAN dalam tulisan ini, riuh politik pasca pemilu 2014 lalu, PAN ternyata tidak ambil pusing atas konflik partai politik lainnya, seperti Partai Golkar dan PPP. Kedua partai politik ini, terutama PPP masih belum menyelesaikan konflik internalnya. Lantas bagaimana dengan PAN? Sangat menarik, jika kita bertanya mengapa PAN akhir-akhirnya tidak ada konflik pasca kongres dan terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum PAN. Komparasi antara kepemimpinan Amien Rais, Soetrisno Bachir dan Hatta Rajasa saat memimpin PAN, konflik sesama kader cenderung muncul di sejumlah daerah. Tapi, apa yang kita saksikan sekarang Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mampu menahan konflik sesama kader. Politik tanpa gaduh lebih diutamakan dalam menarik simpati konsituen. 

Salah satu fakta empiris, mengapa partai ini dikenal partai politik tanpa gaduh, karena PAN memasukkan landasan perjuangannya dan memakai tagline “Politik Tanpa Gaduh”.  Tagline ini ternyata mampu memperkecil konflik-konflik kecil yang ada di tingkat pusat dan berimbas kepada kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten sampai kecamatan. 

Variable lainnya adalah PAN memiliki basis tradisional, juga basis suara yang ikut membesarkan PAN setiap penyelenggaraan Pemilu. Konsituen yang saya maksudkan adalah suara warga Muhammadiyah. Tidak dapat kita bantah, bahwa salah satu elemen yang mendirikan dan membesarkan PAN adalah kader-kader Muhammadiyah. Kita dapat melihat secara politik, bahwa pendiri PAN di pusat, mayoritas berasal dari kader-kader Muhamamdiyah, begitu juga dari wilayah, daerah sampai cabang bahkan ke ranting, masih didominasi kader Muhamamdiyah.

Salah satu daya tarik pendirian PAN, karena konsituennya jelas dan sebagian besar berasal dari warga Muhammadiyah. Meski Muhammadiyah tidak berafiliasi ke salah satu partai politik, namun suara politiknya ketika Pemilu sering digiring ke PAN. Dan, ini terbukti bahwa setiap Pemilu berlangsung suara PAN sangat dekat hubungan emosionalnya kepada warga Muhammadiyah. Inilah yang saya maksudkan bahwa PAN pasca kongres tahun 2015 lalu, lebih mengedepankan realisasi program ketimbang memilih ikut berkonflik seperti partai politik lainnya. PAN mengedepankan politik tanpa gaduh untuk seluruh tingkatan.  Dalam konteks konsituen, di internal Muhammadiyah sendiri sudah sangat tegas, bahwa Muhammadiyah secara organisatoris tidak berafiliasi kepada partai politik manapun.

Komunikasi Politik
Klaim bahwa PAN ada hubungan emosional dengan Muhammadiyah, memang tidak terbantahkan. Tetapi, hari demi hari, minggu demi minggu tingkat kepercayaan publik, khususnya kader Muhammadiyah ke PAN semakin menurun. Salah satu penyebabnya, karena di tingkat elit PAN, tidak mampu merawat basisnya, bahkan advokasi kepada konsituennya juga tidak dijalankan untuk mempertahankan suara dari basis-basis Muhammadiyah.

Sikap yang ditunjukkan kader-kader PAN dianggap belum maksimal dalam memberikan pelayanan secara internal ke konsituen utamanya warga Muhammadiyah. Sebagian kecil ada arogansi kader PAN yang menjadi pemicu jauhnya kader Muhammadiyah dari PAN. Di sisi lain, pencitraan pelayanan publik terhadap konsituen tradisionalnya terus memudar. Khittah perjuangan PAN yang diproklamirkan Sang Lokomotif Reformasi Amien Rais, mulai ditinggalkan seiring semakin praktisnya kader-kader PAN dalam perjalanan politiknya. 

Oleh karena itu, di akhir tulisan ini, hemat penulis tidaklah salah, jika momentum HUT PAN ke 18 ini, dijadikan modal untuk membangun pencitraan partai di mata publik. Komunikasi politik PAN benar-benar harus dijalankan, dan menjalankan tagline PAN, politik tanpa gaduh agar tetap memberikan advokasi kepada konsituen tradisionalnya. Penurunan perolehan suara PAN dari Pemilu ke Pemilu harus menjadi evaluasi menyeluruh bagi pimpinan PAN untuk melihat bagaimana keberterimaan warga Muhammadiyah pada Pemilu.

Perlu diingat, bahwa suara Pemilu baik di legislatif dan Pilpres bukan hanya dari warga Muhammadiyah saja, tetapi lebih jauh PAN juga membutuhkan suara dari luar Muhammadiyah. Karena itu, pencitraan dan program sangat dipentingan untuk membangun komunikasi politik PAN menuju Pemilu 2014 nanti.

Jujur harus dikatakan, kita rindu kalau warga Muhammadiyah kembali menyanjung PAN, kita rindu kalau warga Muhammadiyah ikut membesarkan PAN seperti di awal tahun-tahun kelahiran PAN tahun 1998 lalu. Harapan besar tentu masih di ambang pintu untuk meningkatkan perolehan suara PAN pada Pemilu 2019 nanti. Ini dapat dilakukan, jika PAN memegang teguh dan mengedepankan politik tanpa gaduh.

** Penulis adalah Dosen FIS UIN-SU dan UMSU. Pernah Wakil Ketua DPW PAN Sumut periode 2005-2010 **

0 comments:

Post a Comment