Powered by Blogger.
Home » » NASIB PENGUSUNG PARPOL AHOK

NASIB PENGUSUNG PARPOL AHOK

Oleh : Anang Anas Azhar 

Ketika elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Non Aktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok berada di puncak "gunung es", sejumlah partai politik mengincarnya kembali untuk pilkada DKI Jakarta. Ahok pun mengurungkan niatnya maju dari jalur perseorangan. Beliau mendapat dukungan penuh partai politik dan akhirnya memutuskan maju lewat jalur partai politik.

Empat partai politik Partai Nasdem, Hanura, Partai Golkar dan PDIP dengan berbagai pertimbangan logika politik, akhirnya mengusung Ahok menjadi calon Gubernur DKI Jakarta untuk kedua kalinya. PDIP yang awalnya enggan mencalonkan Ahok, akhirnya berubah arah, partai besukan Megawati mengambil wakilnya dari PDIP, partai penguasa di pemerintahan inipun mengusung Ahok. Harapan pun bermunculan ketika empat partai politik ini mencalonkan Ahok untuk memenangkan kompetisi pada pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 mendatang.

Belakangan, Ahok ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama karena ulahnya mencemooh Alquran, dan ikut mencampuri urusan doktrin Islam dalam Surat Almaidah ayat 51. Ditambah lagi, ucapan Ahok diunggah ke media sosial mendapat reaksi keras dari umat Islam. Ahok pun dalam beberapa minggu terakhir ini, menjadi viral media, baik media cetak, televisi maupun media sosial. Reaksi keras ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru mengubah peta politik umat Islam agar Ahok segera ditahan. Bergulirnya penahanan Ahok, mengubah peta pencitraan politik Ahok, dari sebelumnya berada di puncak es menjadi blunder. Blunder karena elektabilitas Ahok dari sejumlah survei yang dilakukan lembaga resmi, menunjukkan grafik elektabilitas Ahok mengalami penurunan drastis.

Muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan elektabilitas Ahok turun terjun bebas? Sejumlah analisis politik pun mengemuka. Pertama, pencitraan politik Ahok menurun, kuat dugaan karena kasus penistaan agama yang sedang melilit Ahok. Bagi Ahok, mungkin ucapan menista Alquran tidak ada masalah. Tetapi, bagi warga DKI Jakarta yang dihuni 85% umat Islam menjadi masalah besar. Gerakan meluas menangkap Ahok pun semakin deras, ditambah lagi pengguna media sosial menekan pemerintah agar menetapkan Ahok sebagai tersangka. Kedua, menurunnya elektabilitas Ahok, memberi sinyal buruk bagi partai politik pengusung Ahok. Fakta yang ditemukan, Partai Nasdem justru akan mempertimbangkan pencabutan dukungan kepada Ahok. Padahal partai politik besukan Surya Paloh ini merupakan partai politik pertama yang mencalonkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Seiring ditetapkannya Ahok tersangka, gelombang unjukrasa berdatangan. Bukan hanya dari ibukota Jakarta saja sebagai sentralnya ibukota Indonesia, tetapi gelombang unjukrasa berdatangan dari sejulah daerah di Indonesia. Lantas, di mana pembelaan partai politik pengusung Ahok saat Ahok dililit kasus penistaan agama? Masih maukah kader dan simpatisan empat partai politik pengusung Ahok mau secara ikhlas menyosialisasikan calonnya ke tengah-tengah publik? Pertanyaan inilah yang kini muncul pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka, bahkan tak sedikit umat Islam merasa tersinggung akibat ucapan Ahok ketika menistakan Alquran.

Potensi Retak
Secara implisit, potensi keretakan bagi empat partai politik pengusung petahana Basuki Tjahaja Purnama bakal terjadi. Potensi retak lebih kuat, jika dibanding partai politik pengusung calon gubernur lainnya yang ada di DKI Jakarta. Tingkat kerawanan keretakan, meski tidak terlalu nampak tetapi paling tidak, kader dan simpatisan partai politik pengusung Ahok kurang serius memenangkan Ahok. Konsentrasi pendukung partai politik Ahok, terbelah dengan berbagai kubu. Ada yang menginginkan agar Ahok segera menyelesaikan kasus hukum yang sedang melilitnya, dan ada juga yang menginginkan Ahok mundur saja dari pencalonan Gubernur DKI Jakarta.

Kemungkinan lain yang membelah dukungan partai politik terhadap Ahok adalah, partai politik tidak solid berkampanye di lapangan. Secara administrasi memang dukungan kepada calon dalam pilkada tidak dapat dilakukan oleh partai politik ketika sang calon sudah didaftarkan ke KPU. Namun, strategi yang dilakukan untuk menarik dukungan dari Ahok melalui gerakan moral. Partai politik pengusung tidak bergerak secara massif lagi untuk mensosialisasikan calonnya di tengah-tengah masayarakat. Partai politik tidak berbuat apa-apa lagi selama jadwal kampanye dilakukan. Gerakan partai politik kepada calon akan mengalami stagnan, dan dalam konteks komunikasi politik, bisa jadi pencitraan politik Ahok mengalami penurunan. Jika mengalami penurunan, kemenangan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta akan terkunci secara politik. 

Sejumlah prediksi yang diurai di atas, dapat terjadi andai saja keputusan partai politik dilakukan oleh partai politik masing-masing. Sikap keras yang ditunjukkan partai politik pendukung, sekaligus memberi pelajaran kepada Ahok, agar dalam memimpin Ahok tidak memasukkan ranah agama sebagai bahan kampanyenya. Satu partai dari empat partai politik pengusung Ahok, yakni Nasdem akan mengevaluasi dukungan, jika mantan Bupati Belitung Timur itu berstatus tersangka. Penulis memprediksi bahwa sikap Nasdem semata-mata bukan karena kasus dugaan penistaan agama saja, tetapi juga didasari masuknya PDI Perjuangan ke dalam partai politik pendukung Ahok dan memasangkannya dengan kader PDIP Djarot S Hidayat sebagai calon wakil. Celakanya, kita dapat menyaksikan Ahok menunjukkan perhatian yang lebih kepada PDIP daripada partai politik pendukung lain yang lebih awal menyatakan dukungannya kepada Ahok.

Sikap Partai Nasdem itu, nampaknya dikuatkan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie. Beliau justru menegaskan bahwa Partai Golkar jangan membela penista agama, dan meminta secara khusus agar kasus Ahok segera ditangani secepatnya. Dari empat partai politik pengusung Ahok, hanya PDIP yang terlihat memback-up kasus dugaan penistaan agama itu. Itu dapat dibuktikan dari sikap partai pimpinan Megawati Soekarnoputri mengirim anak buahnya mengawal Ahok ke Bareskrim. Tidak dapat dibantah, jika perhatian Ahok lebih banyak tertuju ke PDIP dan seolah-olah ‘memfasilitasi’ panggung lebih dominan untuk PDIP, membuat partai politik pendukung lain menjadi kurang dihargai.

Ibarat tiga lawan satu, tiga partai politik minus PDIP,  yakni Nasdem, Hanura dan Partai Golkar hemat penulis harus mengubah strategi politiknya. Setidaknya, peta yang ada untuk memenangkan calon petahana di DKI Jakarta, sangat tidak memungkinkan lagi untuk bersama-sama sejalan memenangi Ahok pada pilkada DKI Jakarta. Nasdem, Hanura dan Partai Golkar sebaiknya mengevaluasi dukungan secara moril untuk memenangkan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta. Pola strateginya hemat penulis sederhana saja, yakni kader dan simpatisan bersikap pasif dalam memenangkan calon yang diusung partai pengusung Ahok. Ini akan lebih baik ketimbang melakukan gerakan-gerakan yang menimbulkan konflik di hadapan publik. **

** Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMSU, Ketua Majelis LPCR PD Muhammadiyah Kota Medan** 


0 comments:

Post a Comment