Powered by Blogger.
Home » » Menyoal Pemekaran Sumut

Menyoal Pemekaran Sumut

Oleh : Anang Anas Azhar

Pasca reformasi, semangat membentuk daerah otonomi baru terus menggelinding. Semangat pembentukan daerah baru sepertinya tak pernah padam. Secara khusus, semangat pembentukan daerah baru memiliki daya tarik tersendiri, kendati setelah dimekarkan belum mampu berdiri sendiri. Bahkan, otonomi baru yang lepas dari daerah induk menjadi beban APBN/APBD. Penyebabnya, karena anggaran APBD kabupaten/kota yang baru tak mampu membiayai daerahnya sendiri.

Jika dilihat dari fakta yang ada, tidak sedikit pemekaran daerah jalannya terseok-seok dalam membangun daerahnya. Bahkan dapat disebut, pemekaran daerah gagal mensejahterakan rakyatnya, karena ketiadaan dana. Penyebab ketiadaan dana, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah otonom baru, tak mampu membiayai keperluan daerah. Bercermin dari fakta-fakta di atas, hanya segelintir daerah otonom baru yang dibilang sukses. Sukses dalam mensejahterakan rakyatnya, dan mampu membiayai kepentingan pemerintahan.     

Di Propinsi Sumatera Utara, semangat elit melakukan pemekaran daerah tak pernah berhenti. Elit yang saya maksudkan adalah, para elit partai politik, elit pemerintahan dan tokoh masyarakat daerah. Hampir setiap tahun sejak reformasi, usulan pemekaran otonom baru di Sumatera Utara terus berdatangan. Apalagi, Sumatera Utara termasuk daerah yang luas, dan memiliki banyak kabupaten/kota.

Sejak tahun 1997, Propinsi Sumatera Utara hanya 18 kabupaten/kota. Tetapi, sejak era reformasi bergelinding, usulan pemekaran otonom baru terus bertambah. Bahkan, sampai 2015 lalu, Sumatera Utara sudah memiliki 33 kabupaten/kota. Hampir separoh daerah otonom dihasilkan pasca reformasi di Sumatera Utara. Seiring berjalannya semangat pemekaran, para elit politik di Sumatera Utara masih berlum berhenti untuk memekarkan Sumatera Utara. Saat ini, tengah berlangsung pula pemekaran daerah otonom Sumatera Utara, baik itu propinsi, kabuputan dan kota.

Sumatera Utara yang dihuni hampir 15 juta jiwa ini (BPS Tahun 2012), terus berupaya memekarkan daerah. Bahkan pemekaran Sumatera Utara terpisah dari propinsi Induk bakal menjadi tiga propinsi, yakni Propinsi Kepulauan Nias Propinsi Tapanuli dan Propinsi Sumatera Tenggara. Inisiatif pemekaran Sumatera Utara menjadi tiga propinsi ini, tak pernah berhenti bahkan sudah memakan korban para pejabat ketika desakan pemekaran Propinsi Tapanuli dihalang-halangi oknum pejabat kita. 

Dalam catatan penulis, usulan otonomi daerah yang baru di antaranya, usulan pembentukan Kabupaten Simalungun Hataran dari Kabupaten induk Simalungun, Pemko Berastagi dari Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat Hulu dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten Natal dari Kabupaten Madina. Sejumlah usulan otonom baru ini sebenarnya, jauh-jauh hari sudah diusulkan, namun karena terganjal Undang-undang proses tahapan pemekaran daerah otonom ini berjalan tertatih-tatih.

Penelitian Akademik
Sebuah daerah otonom baru, sejatinya harus lolos dari “jeratan” studi kelayakan akademik. Misalnya, penelitian berdasarkan akademik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai layak atau tidak sebuah daerah otonomi dimekarkan. Sebab, fakta-fakta yang kita lihat studi kelayanan berdasarkan penelitian akademik sering diabaikan para elit. Para elit terkesan mengabaikan tujukan ini, dan justru yang lebih mendominasi adalah kepentingan politik. Ada beberapa daerah di Sumatera Utara yang semestinya tak layak dimekarkan, tapi karena tekanan kepentingan politik mendominasi, maka daerah tersebut dimekarkan.

Kepentingan politik di sini yang saya maksudkan, karena kedekatan tokoh yang berada di Jakarta. Atau perwakilan daerah ada yang duduk di DPR RI dan birokrat. Faktor-faktor eks sepertilah yang mempercepat pemekaran daerah, meski pada priinsipnya tak layak dimekarkan menjadi sebuah daerah otonom baru. Seringkali hasil penelitian akademik diintervensi kepentingan politik. Akibatnya, hasil penelitian tersebut tidak objektif lagi. Padahal, kalau kita mau jujur bahwa hasil penelitian yang dilakukan, untuk mengukur sejauhmana kemampuan daerah otonom baru itu, jika dipisahkan dari kabupatan induk.

Fakta yang kita lihat justru terbalik. Banyak daerah otonom baru, semangat awalnya tinggi-tinggi, namun setelah berjalan beberapa tahun, ternyata tidak mampu menjalankan pemerintahan. Bayangkan saja, masih ada daerah otonom baru belum mampu membiayai daerahnya sendiri. Akibatnya, proses pembangunan pun di daerah itu terkendala, dengan alasan ketiadaan dana pembangunan. Di sisi lain, faktor yang mempengaruhi ketiadaan dana ini rakyatnya menjadi sengsara.

Dalam rentan 1998-2006, di Sumatera Utara terdapat hasil pemekaran yang lolos berdasarkan studi kelayakan akademik. Dan kini menjadi daerah otonom baru, yang terpisah dari kabupaten induk. Daerah itu adalah, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Nias Barat, Nias Utara dan Kota Gunung Sitoli.

Sebelum dimekarkan, studi kelayakan akademik terhadap usulan daerah otonom ini memperoleh nilai rata-rata sedang. Dan memiliki kelayakan untuk pemekaran, namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, sebagian daerah tersebut tak mampu mandiri untuk membangun daerahnya. Selain faktor SDM di tingkatan birokrat, kemampuan dana untuk membangun daerahnya sangat jauh, dari apa yang diharapkan selama ini. Bahkan, sebagian daerah lagi mampu membangun daerahnya, tapi karena persoalan pembagian dana hasil pembangunan berbelit-belit, mengakibatkan daerah otonom baru itu terkatung-katung menjalankan pembangunan daerahnya. 

Akhirnya, di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa semangat usulan pemekaran otonomi daerah harus dijalankan secara berkesinambungan. Masalahnya sekarang, bagaimana para elit mengelola dana pembagian pembangunan tidak terhambat, agar daerah otonom baru mampu berdiri sendiri. Apalagi, daerah otonom baru tidak sedikit yang memiliki kemampuan sumber daya alamnya yang luar biasa.

Faktor lain, yang mendukung terwujudnya daerah otonom baru adalah persoalan infrastruktur yang memadai. Terciptanya infrastruktur yang lebih baik, menjadi harapan masyarakat setelah pemekaran terwujud. Tapi sebaliknya, jika infrastrutur tidak dibenahi, daerah otonom baru sulit berkembang. **
   
** Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMSU dan FIS UIN Sumut di Medan


0 comments:

Post a Comment