Powered by Blogger.
Home » » NASIB AMERIKA PASCA OBAMA

NASIB AMERIKA PASCA OBAMA



Oleh : Anang Anas Azhar

Peta politik dunia pasca terpilihnya Donald Trump terfokus ke Amerika Serikat. Trump sebagai sosok pengusaha kaya raya di Amerika, berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat ke 45 setelah memenangi pilpres, Rabu (9/11) lalu. Kemenangan Trump atas Hillary Clinton tentu mengejutkan semua pihak, khususnya negara-negara arab yang berada di kawasan Timur Tengah. Sejumlah jajak pendapat bahkan survei, justru mencatatkan kemenangan bagi Hillary Clinton sebagai pemenang pilpres. 

Satu hari menjelang pilpres, Presiden Barack Obama, turun tangan untuk mempertahankan kemenangan calon presiden Partai Demokrat Amerika itu. Obama dianggap menjadi pamungkas putaran terakhir kampanye Hillary Clinton. Tapi akhirnya, rakyat Amerika Serikat tetap saja memilih Trump sebagai pengganti Obama untuk empat tahun ke depan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana masa depan Amerika Serikat pasca Barack Obama memimpin? Sejumlah  analisis politik muncul ketika Donald Trump memimpin Amerika Serikat. Tentu yang sangat berpengaruh bagi negara-negara kawasan di Timur Tengah. Permasalahan ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus menjadi perhatian serius negara-negara se kawasan Timur Tengah. Banyak pihak justru memperikirakan Donald Trump menjadi musuh negara-negara Islam, karena dalam sejumlah kampanyenya sebelum pilpres Trump membuat pernyataan-pernyataan kontroversial kepada umat Islam.

Sebagai negara super power, sejumlah negara di dunia masih memiliki ketergantungan ekonomi, politik dan berkiblat ke Amerika Serikat. Ketika Obama memimpin Amerika Serikat delapan tahun lamanya, kiblat dunia Islam tertuju kepada Obama. Obama memberikan perhatian serius kepada negara-negara Islam untuk bekerjasama dengan Amerika Serika. Penciptaan perdamaian terjalin selama Obama presiden. Bahkan, Obama bagi dunia Islam menjadi viral perdamaian dunia, khususnya dunia Islam. Obama sukses memberi pesan perdamaian dan tidak memberikan pesan permusuhan, meski sebagian kecil dunia Islam di Timur Tengah tidak berpihak kepada Amerika Serikat. Tapi setidaknya, fakta mencatatkan bahwa Obama satu-satunya presiden di Amerika Serikat yang mampu memberikan ghirah bagi dunia Islam di kawasan Timur Tengah, bahkan secara khusus di Indonesia.

Peta politik Amerika tentu tidak selamanya dipimpin satu partai berkuasa, regenerasi pasti akan beralih. Nah, Partai Demokrat yang mencalonkan Hillary Clinton menjadi pengganti Obama belum beruntung dalam pilpres Amerika Serikat. Trump yang mendapat kepercayaan penuh dari rakyat Amerika Serikat mendapat mandat sebagai presiden. Hasil penghitungan suara electoral college memenangkan Trump dengan perolehan 281 dari ambang batas 270 suara. Kemenangan yang tipis bagi Trump, namun sangat menyakitkan bagi kubu Hillary Clinton.

Bakal Tertindas
Dalam sejumlah kampanye politiknya sebelum terpilih menjadi presiden, Donald Trump menjadi capres Amerika yang melemparkan isu keagamaan, khususnya kepada umat Islam. Umat Islam di Amerika menjadi bakal khawatir ketika Trump menjadi presiden. Trump dikenal sebagai calon yang anti terhadap umat Islam dalam kampanye-kampanye. Lantas, akankah ini terbukti pasca Trump memimpin Amerika Serikat? Hemat penulis, beberapa analisis politik memberi gambaran bahwa umat Islam sebagai kelompok minoritas di Amerika bakal tertindas. Analisisnya ; Pertama, Donald Trump merupakan kelompok konservatif yang berafiliasi terhadap kepentingan agama mayoritas di Amerika Serikat. Untuk mendapatkan dukungan penuh, Trump berupaya memberikan advokasi pertama kepada kelompok agamanya sendiri. Sehingga Trump dipercaya akan menjaga kelanggengan agama mayoritas di Amerika Serika.

Kedua, dalam beberapa kesempatan, peluang Trump untuk membela umat Islam di Amerika sangat kecil. Sebab, Trump dalam setiap kesempatan menerima informasi bahwa agama Islam, merupakan agama teroris dan penganutnya suka berperang. Dua analisis ini memberikan fakta-fakta sederhana, bahwa Donald Trump terpilih bukan memberi manfaat penuh kepada dunia Islam, terutama di mata rakyat Amerika yang menganut Islam. Tapi sebaliknya, umat minoritas yang ada di Amerika bakal tertindas.

Kemudian ketiga, negara-negara Timur Tengah kini menjadi ancaman besar setelah Trump menjadi presiden. Trump tidak segan-segan memberikan perlawanan kepada kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara Islam yang memiliki sumber daya alam yang kuat. Amerika Serikat di bawah Trump, pasti tidak tinggal diam melihat pertumbuhan sumber daya alama di Timur Tengah. Sebut saja, kekayaan minyak dan ladang minyak yang selama sudah berpuluh tahun menjadi sumber pendapatan negara-negara kawasan Islam Timur Tengah. Berbeda halnya jika Hillary Clinton terpilih menjadi presiden. Politik Amerika untuk menguasai kawasan Timur Tengah akan terjaga. Politik jahat Amerika merebut sumber daya alam negara-negara Timur Tengah tidak separah Trump. Perspektif ini muncul, karena melihat fakta-fakta politik yang berhembus selama kampanye presiden berlangsung di Amerika Serika. Andai saja kemenangan Hillary Clinton terjadi, maka nasib umat Islam di Timur Tengah, secara khusus di Amerika Serikat tidak bakal tertindas.

Pencitraan Politik
Sebagai capres dari Partai Republik, Donald Trump mampu mengelola manajemen konflik. Pemanfaatan konflik dikelola secara khusus, sehingga tanggapan rakyat Amerika Serikat menjadi beragam terhadap Donald Trump. Trump dalam beberapa kesempatan, mampu menganut menajemen isu. Ini justru berbanding terbalik dengan Hillary Clinton. Hillary justru dirundung persoalan kasus selingkuh suaminya Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Hillary dianggap sebagai istri yang tidak mampu mengatur rumah tangganya.

Perselingkuhan suaminya dengan Monica Lewinsky menjadi pemicu yang cukup kuat bagi rakyat Amerika untuk tidak memilihnya sebagai pemimpin mereka. Ibaratnya, rumah tanga saja tak mampu dilakonknya sebagai layaknya seorang istri, apalagi mengelola negara super power sebesar Amerika Serikat. Sebaliknya, Trump yang terzolimi selama masa pertarungan merebut kursi orang nomor satu di Amerika Serikat, mampu mengelola isu tersebut dengan baik. Trump merupakan kandidat capres yang paling sering kena serangan black campaign, mulai dari memamerkan foto-foro syuur istrinya ketika masih menjadi modelling sebelum menikah dengan Trump, sampai pada pengaduan sejumlah wanita yang mengaku dilecehkan secara seksual oleh Donald Trump.

Namun hal itu, meleset dalam perhitungan timsesnya Hillary Clinton, justru simpati rakyat Amerika terhadap Trump semakin kencang. Black campaign yang menerpa Donald Trump, semakin besar menarik simpatik rakyat Amerika sebagai pihak yang terzolimi. Ini sudah hukum alam, ketika seseorang dizolimi sedemikian rupa dengan berbagai isu negatif dan fitnah yang tidak diperbuatnya dalam kehidupan pribadi seseorang, maka akan semakin besar simpatik yang diperolehnya. Di sinilah letak kesuksesan Trump dalam mencitrakan dirinya sebagai figur publik untuk merebut orang nomor satu di Amerika. Pencitraan politik yang dilakukan Trump, tentu tidak terlepas dari pengelolaan isu konflik yang diolah dari yang buruk menjadi baik.

Tapi sayang, meski pencitraan politik Trump sukses dalam pentas politik Amerika, namun tidak serta merta memberi manfaat banyak kepada dunia Islam. Dunia Islam kurang menarik untuk menerima presiden terpilih Amerika Serikat ini. Dunia Islam masih membutuhkan figur-figur sekaliber Obama untuk memimpin Amerika Serikat. Terlepas dari pro kontra itu semua, penulis berkeyakinan penuh, nasib Amerika pasca Obama semakin bergolak, jika gaya kepemimpinan Trump tidak mengadvokasi umat Islam sebagai kelompok minoritas di Amerika Serikat. **

** Penulis adalah Doktor Komunkasi Islam (S3) UIN-SU, Dosen FIS UIN-SU dan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMSU

0 comments:

Post a Comment